“Teori gen egois tidak memberi tahu kita apa pun tentang nilai interaksi melalui bahasa.“ — Noam Chomsky(96), Who Rules the World? (2014).
Biologi evolusi, zoologis, Richard Dawkins (83) asal Inggris dan Guru besar emeritus di New College, Oxford (1976-2008), pada 49 tahun silam mempopulerkan evolusi gen(meme) lewat bukunya: The Selfish Gene (1976).
Sebagai pesohor sains, Dawkins juga memenangkan beberapa penghargaan akademik dan penulisan untuk sains-sains populer. Di antara lebih 10 buku yang ditulisnya — di 2024 silam terbit buku baru The Genetic Book of the Dead: A Darwinian Reverie, sebuah perayaan kejayaan teori evolusi sejak ditelorkan dari lamunan (reverie) Darwin — selain Gen Egois (The Self Gene), The God Delusion (2006) lah buku yang menabalkan dirinya sebagai sainstis ateis.
Sebagai anak dari leluhurnya James Dawkins pada abad-17, masa kecilnya dibawa rantau orang tuanya, John Dawkins, ke Kenya. Sejak itu, ia mulai tertarik pada keragaman hayati di benua Afrika itu dan mendorongnya pada kajian biologi evolusi. Sejarah hidup Dawkins menjadi sainstis tersohor telah ditulisnya pada An Appetite for Wonder: The Making of a Scienstist (2013).
Untuk meringkas pengetahuan luas ihwal sains biologi evolusi dan makin meyakinkan kepercayaan pada kejayaan teori evolusi bagi masa depan umat manusia — meski mengalpakan kepercayaan pada Tuhan sebagai bagian dari biologi iman Limpton — teori biologi evolusinya dengan gen egois (meme), ternyata punya tali temali dalam algoritme kecerdasan buatan(AI).
Sejauh mana biologi evolusi punya kesamaan bahkan relasi cara kerjanya. Dengan menelaah secara cermat temuan sains melalui buku-buku Dawkins — Fenotipe yang Diperluas (1982); Pembuat Jam yang Buta (1986); Sungai yang Keluar dari Eden (1995); Mendaki Gunung yang Tidak Mungkin (1996); Menyingkap Pelangi (1998); Pendeta Setan (2003); Kisah Leluhur (2004); Buku Oxford tentang Penulisan Sains Modern (2008); Pertunjukan Terbesar di Bumi: Bukti Evolusi (2009); Keajaiban Realitas: Bagaimana Kita Tahu Apa yang Benar-Benar Benar (2011); Selera untuk Keajaiban (2013); Lilin Singkat dalam Kegelapan (2015): Sains dalam Jiwa (2017); Meninggalkan Tuhan (2019) dan Buku Memang Memberikan Kehidupan (2021) — pengetahuan kita tentang bio-evolusi bisa menenggang atau menyoroti lebih jauh dan dalam apa yang dijawab oleh AI.
Mari diperiksa dasar pengetahuan biologi evolusi di bawah ini secara ringkas:
Pertama, Teori Evolusi:
Teori evolusi Charles Darwin (1809-1882) adalah dasar untuk memahami bioevolusi manusia. Dinyatakan bahwa semua makhluk hidup muncul melalui seleksi alam dan variasi (Origin of Species,1859).
Kedua, Biologi Molekuler:
Biologi molekuler telah menunjukkan bahwa semua makhluk hidup memiliki dasar genetik yang sama. Urutan DNA memungkinkan untuk mempelajari hubungan genetik antara spesies yang berbeda (Isaac Beeckman,1588–1637).
Ketiga, Fosil:
Penemuan fosil memungkinkan rekonstruksi evolusi spesies manusia selama jutaan tahun. Penemuan fosil seperti Lucy (Australopithecus afarensis) dan Ardi (Ardipithecus ramidus) telah memperluas pengetahuan kita tentang evolusi manusia secara signifikan (Donald Johanson and Tom Gray, 1974).
Keempat, Genetika:
Genetika telah menunjukkan bahwa spesies manusia memiliki keragaman genetik yang muncul melalui seleksi alam dan penyimpangan genetik. Analisis gen seperti gen FOXP2, yang terlibat dalam perkembangan bahasa manusia, telah meningkatkan pengetahuan kita tentang evolusi manusia (Gregor Mendel, 1822-1884).
Kelima, Paleoantropologi:
Paleoantropologi mempelajari sisa-sisa fosil spesies manusia dan nenek moyangnya. Dengan menganalisis fosil dan temuan arkeologi lainnya, para ilmuwan dapat merekonstruksi evolusi spesies manusia (Georges Cuvier,1767-1832).
Keenam, Jam Molekuler:
Jam molekuler adalah sebuah konsep yang memungkinkan rekonstruksi sejarah evolusi suatu spesies. Dengan menganalisis data genetik, para ilmuwan dapat menentukan waktu terjadinya peristiwa evolusi (lihat Dawkins, The Blind Watchmaker).
Ketujuh, Filogenetika:
Filogenetik adalah ilmu tentang sejarah evolusi spesies. Dengan menganalisis data genetik, para ilmuwan dapat merekonstruksi hubungan filogenetik antar spesies berbeda (Willi Hennig,1913-1976).
Temuan- temuan ilmiah terpenting tentang bioevolusi manusia meliputi:
– Spesies manusia muncul sekitar 300.000 tahun yang lalu di Afrika.
– Spesies manusia berevolusi dari spesies nenek moyang yang sama dengan simpanse.
– Spesies manusia bermigrasi dari Afrika sekitar 60.000 tahun yang lalu dan menjajah belahan dunia lain.
– Spesies manusia berevolusi melalui seleksi alam dan penyimpangan genetik.
Temuan ini didasarkan pada berbagai studi dan data ilmiah, termasuk temuan fosil, analisis genetik, dan penyelidikan arkeologi.
Untuk mematutkan cara kerja ilmiah melalui teori bioevolusi dan AI dapat dilakukan semacam filsafat ilmu tautologi. Dengan metode itu, seringkasnya bisa diulas dari perspektif teori Gen Egois Richard Dawkins dan Kecerdasan Buatan (AI) yang mungkin tampak seperti konsep tidak berhubungan pada awalnya. Namun, setelah diteliti lebih dekat, ada beberapa hubungan menarik antara keduanya.
Mulanya,teori Gen Egois melalui buku The Selfish Gene, Dawkins memperkenalkan konsep gen sebagai unit dasar evolusi. Ia berpendapat bahwa gen bersifat “egois” dalam arti bahwa gen hanya peduli dengan replikasi dan kelangsungan hidupnya sendiri. Malah sering kali dengan mengorbankan organisme secara keseluruhan. Teori ini merevolusi bidang biologi evolusi dan berdampak signifikan pada pemahaman kita tentang dunia alam.
Kemudian, terkait Kecerdasan Buatan(AI) diacu pada pengembangan sistem komputer yang dapat melakukan tugas-tugas yang biasanya memerlukan kecerdasan manusia. Misalnya, pembelajaran, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
Sistem AI dirancang untuk mengoptimalkan kinerjanya dan mencapai tujuannya, sering kali melalui algoritma pembelajaran mesin yang memungkinkannya beradaptasi dan berkembang seiring waktu.
Lalu, hubungan antara teori Gen Egois dan AI —meski teori Gen Egois dan AI mungkin tampak seperti konsep yang berbeda — ada beberapa hubungan menarik di antara keduanya:
1) Optimalisasi dan Peningkatan Diri:
Baik gen maupun sistem AI dirancang untuk mengoptimalkan kinerjanya dan mencapai tujuannya. Gen berusaha untuk bereplikasi dan bertahan hidup. Sementara sistem AI bertujuan untuk memaksimalkan kegunaannya atau fungsi penghargaan dan daya adaptasinya. Fokus keduanya, berada pada pengoptimalan dan peningkatan diri dengan memlototi kesamaan di antara keduanya.
2) Prinsip Evolusi:
Teori Gen Egois berakar pada prinsip evolusi, yang menjelaskan bagaimana gen beradaptasi dan berevolusi seiring waktu melalui seleksi alam. Demikian pula, sistem AI sering menggunakan algoritme evolusi, seperti pemrograman genetik atau strategi evolusi, untuk mengoptimalkan kinerjanya dan beradaptasi dengan lingkungan yang berubah.
3) Penampakan dan Kompleksitas:
Baik gen maupun sistem AI menunjukkan sifat yang tampak, di mana perilaku kompleks muncul dari interaksi komponen yang lebih sederhana. Dalam kasus gen, interaksi antara gen dan lingkungannya menampakkan fenotipe yang kompleks. Demikian pula, sistem AI dapat menunjukkan perilaku kompleks yang muncul dari interaksi algoritma dan struktur data penyusunnya.
4) Otonomi dan Agensi:
Gen dapat dilihat sebagai agen otonom — sangat mirip dengan agen dalam struktur sosial (lihat Giddens, 1979) — yang bertindak demi kepentingan diri sendiri, mereplikasi dan bertahan hidup (survival for fittest) dalam lingkungan yang kompetitif. Demikian pula, sistem AI dapat dirancang untuk beroperasi secara otonom, membuat keputusan dan mengambil tindakan berdasarkan tujuan dan sasarannya sendiri.
Bagaimana implikasi dan arah masa depan Gen Egois AI? Dengan mencermati relasi „real & virtual“ antara teori Gen Egois dan AI, penting menyoroti dan memahami prinsip dasar evolusi, pengoptimalan serta penampakan dalam sistem yang begitu kompleks. Namun, harus waspada kemudahan dan „kemurahan“ akses responsif AI.
Sejalan dengan AI yang terus berkembang dan semakin terintegrasi dalam kehidupan kita, penting dan urgen untuk mempertimbangkan implikasi potensial dari penciptaan sistem otonom yang beroperasi sesuai dengan tujuan dan sasarannya sendiri, terutama pada faktor-faktor edukasi psikomotor dan pseudo adaptasi psikokognitif.
Arah riset di masa depan dapat mengeksplorasi pengembangan sistem AI yang menggabungkan prinsip evolusi bersamaan sifat (bio-psiko genetik) mimetik yang muncul dan mengarah pada sistem yang lebih tangguh. Tentu, dengan prinsip mudah beradaptasi dan otonom. Selain itu, studi analogi gen-AI dapat memberikan wawasan baru tentang sifat kecerdasan, kesadaran dan kondisi manusia seutuhnya.
Walhasil, teori Gen Egois dan AI mungkin tampak seperti konsep yang tak ada kaitan sama sekali di awalnya. Akan tetapi, setelah diamati lebih dekat, keduanya mengungkap hubungan menarik yang menyoroti pentingnya memahami prinsip dasar evolusi, pengoptimalan dan kemunculan dalam sistem yang kompleks bagi manfaat bahkan mungkin mudarat umat manusia dengan populasi 7,3 miliar.
*Ditulis dengan bacaan buku manual Dawkins dan lukisan dirinya dibantu AI.*
***
Penulis : ReO Fiksiwan (Reiner Ointoe), sastrawan, budayawan dan kritikus sastra.