BANYUWANGI – Elemen masyarakat dari Aliansi Masyarakat Pijar Keadilan (AMPK) baru-baru ini melapor ke kejaksaan atas dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan PT Pelindo Properti Indonesia (PPI), anak perusahaan dari Pelindo Grup yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), terkait pengelolaan Pantai Marina Boom dan pembangunan Banyuwangi International Yacht Club (BIYC).
Menurut laporan yang disampaikan kepada Kejaksaan Negeri Banyuwangi pada 20 Januari 2025, AMPK menemukan sejumlah dugaan pelanggaran hukum yang dapat merugikan negara.
Dalam laporan tersebut, diungkapkan bahwa izin pendirian BIYC di kawasan Pantai Marina Boom diduga cacat hukum.
Mereka menyebutkan bahwa NIB (Nomor Induk Berusaha) yang digunakan oleh BIYC untuk menjalankan usaha tidak sesuai dengan izin yang sebenarnya, yang seharusnya hanya untuk restoran, kafe, dan tempat hiburan.
Alih-alih, BIYC tetap beroperasi meski izin yang digunakan tidak sah, sehingga berpotensi merugikan keuangan negara.
“Permasalahan ini semakin rumit karena PPI sebagai pengelola kawasan Pantai Marina Boom bertanggungjawab atas pengelolaan dan pengembangan properti tersebut. Kami menduga ada praktik korupsi yang terjadi dalam proses pengelolaan tersebut,” ujar Hendry Marwanto, S.H.,M.H., CP., CPO, Chd., Ketua Dewan Pimpinan Pusat AMPK.
Selain itu, AMPK juga mencatat adanya masalah sengketa lahan antara Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan Dinas Perhubungan Jawa Timur (Dishub Jatim).
Dalam laporan yang dilayangkan AMPK, disebutkan bahwa beberapa pegawai dari kedua instansi tersebut terlibat dalam klaim tumpang tindih atas lahan yang ada di Pantai Marina Boom.
Dugaan adanya permainan untuk kepentingan pribadi pun semakin menguat, setelah tim investigasi AMPK menemukan indikasi penyalahgunaan wewenang.
Tindak pidana lainnya yang ditemukan adalah dugaan pelanggaran izin oleh PT Pelindo Properti Indonesia (PPI) yang diduga telah menjual dan menyewakan lahan di kawasan Pantai Marina Boom tanpa izin resmi.
Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran mengenai legalitas aktivitas komersial yang dilakukan di lokasi tersebut.
Bahkan, AMPK menduga adanya praktik terlarang, seperti penjualan minuman keras dan penyediaan penari telanjang di BIYC, yang jelas bertentangan dengan norma budaya masyarakat Banyuwangi.
Tak hanya itu, baru-baru ini juga muncul insiden yang semakin memperburuk citra BIYC, yaitu pemindahan properti tanpa izin yang viral di media sosial.
Insiden tersebut memicu protes keras dari masyarakat, yang semakin mempertegas dugaan adanya pengelolaan yang buruk dan penyalahgunaan kekuasaan di dalam tubuh BIYC dan PPI.
Dalam laporan tersebut, AMPK mendesak Kejaksaan Negeri Banyuwangi untuk segera menindaklanjuti dugaan korupsi ini.
Mereka juga meminta agar izin yang menguntungkan pihak-pihak tertentu dan merugikan negara segera dicabut.
“Kami akan mengawal kasus ini hingga tuntas dan meminta agar oknum-oknum yang terlibat segera diperiksa dan ditangkap,” ujar Hendry Marwanto.
Sementara itu, pada 13 Januari 2025, Presiden Prabowo Subianto menggelar pertemuan tertutup dengan Jaksa Agung dan seluruh Jaksa Agung Muda Kejaksaan Republik Indonesia di Istana Merdeka, Jakarta.
Pertemuan tersebut memfokuskan perhatian pada pemberantasan korupsi, khususnya dalam sektor perizinan yang merugikan negara dan menghambat pembangunan nasional.
Presiden juga menekankan pentingnya penguatan penegakan hukum dalam menghadapi praktik korupsi, yang dinilai sering terjadi melalui celah perizinan ilegal.
Menindaklanjuti laporan yang dilayangkan AMPK ke Kejaksaan ini, pewarta akan turut melakukan investigasi, karena dugaan korupsi dan pelanggaran hukum di PT Pelindo Properti Indonesia (PPI) dan BIYC di kawasan Pantai Marina Boom memang menjadi sorotan publik.***